Books

Resensi Novel Kronik Burung Pegas karya Haruki Murakami

Written by Kreta Amura · 4 min read >
Resensi Kronik Burung Pegas karya Haruki Murakami

Books

Resensi Novel Kronik Burung Pegas karya Haruki Murakami

Written by Kreta Amura · 4 min read >

Sebelum beranjak pada ulasan substantif, saya ingin mengapresiasi diri saya sendiri karena sanggup menyelesaikan novel dengan tebal hampir seribu dalam waktu kurang dari satu bulan. Memang, itu bukanlah prestasi yang cukup layak untuk dibanggakan. Tapi dengan ukuran font yang lebih kecil dari buku kebanyakan, serta jarak yang begitu sempit pada tiap barisnya, saya rasa saya layak untuk mendapatkan tepuk tangan.

Setidaknya, dari diri saya sendiri.

Well, saya memutuskan membaca novel ini karena saya ingin meneladani tulisan seorang Haruki Murakami yang berhasil memenangkan Hadiah Sastra Yomiuri yang sangat bergengsi di Jepang. Selain itu, beliau juga merupakan kandidat kuat dalam peraih nobel sastra untuk tahun 2019. Dengan meneladani setiap karyanya, mungkin, setidaknya, saya bisa keluar sebagai jawara dalam lomba menulis novel tingkat Rukun Warga. Haha.

JudulKronik Burung Pegas
PenulisHaruki Murakami
PenerbitKepustakaan Populer Gramedia
CetakanPertama, Mei 2019
GenreFiksi, Misteri, Sejarah
Halamanix + 925
Harga199.000

Sinopsis

Menceritakan kehidupan rumah tangga Toru Okada dan Kumiko, yang telah mengarungi bahtera rumah tangga selama enam tahun lamanya. Suatu hari, kucing kesayangan mereka hilang entah ke mana. Menyusul setelahnya, seorang wanita misterius kerap menelpon dan mengajak Okada untuk melakukan phonesex dengannya. Tidak hanya sampai di sana, kemunculan peramal nyentrik yang selalu mengenakan topi vinil merah, beserta adiknya yang belakangan diketahui merupakan seorang pelacur membuat kehidupan sederhana Toru Okada menjadi semakin membingungkan.

Berbagai hal kecil nan misterius saling jalin menjalin. Mulai dari keberadaan rumah terbengkalai yang begitu menyita perhatian Okada, sumur misterius yang menyimpan sejuta rahasia, terungkapnya perselingkuhan Kumiko dengan pria lain, hingga munculnya tompel biru pada pipi Okada. Setelahnya, kehidupan Okada menjadi kian aneh dan tak lagi bisa di nalar. Semakin lama berkubang pada keganjilan dalam hidupnya, Okada menyadari bahwa kesemuanya bukanlah suatu kebetulan, ataupun fragmen kehidupan yang tak berhubungan.

Semua hal ganjil yang dialaminya, bersinggungan dengannya, entah bagaimana saling terkait dan berhubungan satu sama lain. Bahkan, apa yang dialaminya entah bagaimana berbenturan dngan peristiwa sejarah dalam setting Perang Dunia II. Ada suatu kekuatan gelap yang tengah menggeliat, merangkak secara perlahan untuk naik ke permukaan. Mampukah Okada mengurai benang kusut hingga sampai pada simpul mati yang akan mengakhiri segalanya? Akankah Okada sanggup mencegah bencana besar yang akan menghantam kehidupannya?

Kesan Singkat pada Novel

Dari ketebalannya saja, novel ini sanggup membawa anda langsung meluncur ke alam mimpi, sekaligus praktis digunakan sebagai bantal di mana pun dan kapan pun anda berniat membaca novel ini dan bablas karenanya.

Dan memang, membacanya menjadi sebuah pengalaman yang panjang, sekaligus melelahkan. Sehingga secara keseluruhan, saya bisa katakan bahwa membaca novel ini membutuhkan kebulatan tekad yang kuat, serta perjuangan untuk tidak berhenti di tengah jalan.

Membaca Kronik Burung Pegas, memiliki kesan yang sama ketika saya membaca Cantik Itu Luka karya Penulis Indonesia, Eka Kurniawan. Dari segi tema, keduanya sama-sama mengangkat surealisme dan absurditas yang lumayan sulit untuk dicerna secara sekilas. Secara umum, novel ini terbagi ke dalam tiga part besar. Dan persamaan mencolok antara kedua novel tersebut adalah, bahwasanya saya dan mungkin anda juga baru benar-benar bisa menangkap inti permasalahan ketika telah tuntas membaca dua dari tiga penggal bab utama.

Kronik Burung Pegas bukan termasuk novel yang menurut saya page turner. Akan tetapi biarpun demikian, novel ini harus diselesaikan dalam tempo secepat mungkin. Karena jika tidak, jika tertunda, atau diselingi dengan membaca buku lain atau melakukan aktivitas lain, mungkin para pembaca akan dengan mudahnya lupa dengan jalan cerita, tokoh dan konlflik utama, yang mana dalam hal ini sangat kompleks dan buram.

Karena telah membelinya—dengan harga yang tidak murah tentu saja—dan membaca sebagian ceritanya, saya harus menyelesaikannya. Seusai membaca habis novel ini, saya memiliki tanggung jawab moral untuk membuat ulasan review atau resensi, karena sayang sekali jika usaha besar saya untuk menyelesaikan novel ini harus terbuang percuma.

Kelebihan dan Kekurangan

Pertama, Haruki Murakami menyajikan deskripsi yang amat sangat mendalam dan terperinci. Dapat saya katakan, novel ini ditunjang dengan riset dan imajinasi di luar rata-rata. Seolah penulis benar-benar hidup di sana dan menyaksikan kejadian perkara, bahkan sejarah yang telah jauh terjadi di masa lampau.

Akan tetapi, di satu sisi, ketika saya sampai pada bagian akhir cerita, saya merasa penulis belum menuntaskan kisahnya. Beberapa cerita dan tetek bengek yang disajikan terkesan bertele-tele dan tidak memiliki relevansi dengan cerita. Adapun kisah tersebut memiliki relevansi, saya lebih suka jika dipersingkat saja. Misalkan, ketika Kreta Kano, Malta Kano, atau siapapun menceritakan kisah hidupnya, yang mana tidak bersinggungan langsung dengan konflik utama, seharusnya tidak perlu sampai diperinci atau diperpanjang. Membuat plot menjadi sangat lambat, dan bahkan mungkin membuat beberapa pembaca lupa atau teralihkan dengan konflik utama dari cerita ini.

Selain itu, keberadaan dan kedetailan hidup mereka pada akhir kisah membuat saya, dan mungkin pembaca lain bertanya. Apa yang terjadi kepada mereka berdua? Mengapa hilang begitu saja? Hanya seperti itu kah peran mereka dalam cerita? Lalu mengapa kisah hidup mereka diceritakan sedemikian panjang, seolah-olah mereka sendiri adalah tokoh utama, padahal setelahnya hilang begitu saja. Seperti tai yang sengaja ditumpuk dalam kakus hanya untuk difluss sekaligus.

Kedua, Haruki Murakami sangat jenius menyampaikan pesan dalam bentuk simbol-simbol tertentu, yang mana saking beragamnya, beberapa diantaranya bisa saya resapi maknanya dan tidak bisa sama sekali, hahah. Ini mengingatkan saya pada novel Sang Penyihir dari Portobello karya Paulo Coelho. Jadi, mungkin para pembaca, yang masih asing dengan budaya Jepang ataupun ajaran okultisme akan sering mengerutkan kepala karena tidak paham dengan maksud dan tindakan tokoh yang sekilas terlihat creepy.

Dalam satu sisi, ini bisa jadi kelebihan. Tapi di sisi lainnya, bisa saya katakan sebagai kekurangan. Karena, hal tersebut tidak hanya membuat novel ini berat secara timbangan (karena tebal) namun juga secara substantif. Memaksa setiap pembacanya untuk setidaknya menamatkan novel ini lebih dari sekali, jika ingin benar-benar memahami setiap pesan yang ingin disampaikan.

Hmm… siapa coba yang mau baca ulang novel yang hampir mirip bantal ini dua kali? Mungkin ada di luar sana. Tapi maaf, tidak untuk saya. Jujur, saya sampai sekarang pun belum mengerti makna dari burung pegas yang ada dalam cerita. Kenapa harus burung pegas, masih menjadi misteri yang membuat saya bertanya-tanya.

Siapa yang Harus Membaca Novel Ini?

Mereka yang menyukai Jepang, sejarah, misteri dan teka-teki, mungkin akan tertarik untuk membaca Kronik Burung Pegas.

Selain itu, mereka yang memiliki jiwa detektif, mungkin akan tertantang untuk memecahkan misteri yang disajikan dalam cerita ini. Tapi jangan berharap banyak. Karena meskipun tidak ada plot twist yang berarti, pembaca akan dibingungkan dengan misteri tentang bagaimana segala hal ganjil dalam kehidupan Toru Okada saling berkaitan.

Kesimpulan

Untuk detail penggambaran yang tiada duanya, riset yang sempurna, serta teka-teki yang sukses mengerutkan kepala, saya mungkin akan memberikan nilai tinggi. Namun narasi yang kurang fokus, berbelit-belit, tidak ringkas, serta makna yang diuraikan melalui simbol-simbol yang terlampau sulit untuk dipahami oleh manusia awam seperti saya, mau tidak mau, saya hanya memberikan nilai 3.8 saja.

Well, mungkin saya akan dijuhat oleh praktisi sastra karena memberikan penilaian yang terlampau rendah untuk karya yang sudah mendunia. Tapi mau bagaimana lagi, review merupakan ulasan yang sangat subjektif. Dan sejujurnya, saya kurang bisa menikmati novel ini.

Written by Kreta Amura
Ada banyak keajaiban yang tercipta dari kesendirian seorang insan. Bayangkan, apa yang bisa dicapai umat manusia dengan suatu kebersamaan? Profile

10 Replies to “Resensi Novel Kronik Burung Pegas karya Haruki Murakami”

  1. Menurut saya pertanyaan yang gak terjawab itulah salah satu kelebihan dari haruki murakami. Seperti karya-karyanya yang lain IQ84, tsukuru tazaki tanpa warna dan tahun ziarahnya, dengarlah nyanyian angin dan norwegian wood yang udah pernah ku baca.

    1. Mungkin lebih tepatnya pertanyaan dengan jawaban yang menggantung kali ya, hehehe, karena Haruki sendiri memberikan beberapa clue yang nggak lengkap, dan membuat readernya bersepekulasi sendiri di akhir cerita.

  2. Memang seperti itulah Murakami, hampir tidak pernah Ada klimaks di setiap karyanya. Pikiran Kita terus menerus dibuat penetrasi dengan remeh temeh detail, misteri-misteri ganjil, naik turunya emosi tokoh utama, alur yang maju mundur, itu yang membuat karya Murakami hebat dan bikin ketagihan, membuat Kita selalu terbayang-bayang. Maaf tapi kalo dibandingkan dengan Cantik Itu Luka, rasa sangat berbeda dan jauh. Coba aja baca Murakami yang lain dengan perlahan, pasti bakal paham bagaimana cara Murakami membuat kita mengaguminya.

    1. Memang mungkin saya terlalu cepat menyimpulkan, karena ini pertama kali saya baca Murakami. Hanya kesan saya saja seperti itu, hehehe.

  3. Saking detailnya murakami, apa aja ditulisin dengan komplit, saat memasak, saat tokohnya merasa lapar, saat adegan penyiksaan. Tapi balik lagi nggak ada plotwis yang bener bener bikin guncang

    1. Bener banget, karena saya baru pertama kali baca Murakami, kadang-kadang terbesit pengen nyekip adegan-adegan gak penting.

  4. Dulu baca ini pinjem dari perpus, awalnya pesimis bakal namatin. Justru buat saya, novel ini malah page turner. Perempuan-perempuan yg ngilang, yg ga diceritain gmn lanjutannya, kayaknya emang templatenya Murakami banget. Salah satu bagian favorit saya pas cerita perang yg tentara itu, bikin bulu kuduk merinding.

    1. Wow keren bisa sampai tamat meskipun pinjem di perpus. Kalau aku mau baca dari perpus pikir2 dulu tebel tipisnya, takutnya kelamaan pinjemnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *